Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Karma dan Kemanusiaan

 

Karma dan Kemanusiaan (pixabay)

uripkuiurup.com - Ini tentang janda sebatang kara, sendiri menempati sebuah rumah kosong, karena ditinggal pemiliknya lama diluar negri.

Rumah sederhana yang terlihat kokoh dari luar, namun didalamnya seperti kapal terbang yang jatuh dari atas awan, begitu hancur dan berantakan.

Beberapa sudut temboknya mulai retak serta ditumbuhi lumut, kayu atap banyak yang patah oleh rayap disana-sini, gentengnyapun berjatuhan dan membuat air hujan bebas mengalir kedalam rumah.

Belum lagi ditambah sampah berserakan, juga baju maupun kain-kain lusuh tercecer dimana-mana.

Adalah Ibu Tarsih, sendiri menempati rumah itu, sulit dibayangkan betapa kesepiannya, ditambah lagi penyakit diabetes yang telah lama dideritanya.

Selain itu, beberapa tahun belakangan beliau juga telah kehilangan pengelihatannya karena katarak, dan yang terahir bu tarsih sering ngomong sendiri. "Stres" kata beberapa tetangganya.

Rumah kosong yang ditempati bu Tarsih, adalah termasuk pemukiman padat penduduk, sebelah kanan kiri belakang dan depan merupakan rumah-rumah warga.

Namun tak satupun warga ataupun tetangga, yang iba terhadap kondisi bu Tarsih, melainkan hanya mbah Yem tetangga depan rumah, yang setiap hari memberinya makan.

Bu tarsih sebenarnya tidaklah sebatangkara dikampung itu, karena ada beberapa famili, bahkan saudara kandungnya juga bermukim disitu.

Namun para kerabat beliau tak ubahnya seperti tetangga-tetangganya, yang acuh tak pedulikan kondisi beliau.

Kondisi bu tarsih yang seperti itulah, mungkin yang membuat suami siri nya meninggalkan beliau, dan menikah lagi tanpa kabar berita. Anak lelaki satu-satunya yang telah beristripun juga tak mau tau dengan kondisi ibunya itu.

Tiba-tiba dadaku terasa sesak, hati kecilku perih dan merintih, fenomena apa ini Tuhan?, tanya jiwaku penuh haru.

Bagaimana ada anak yang abai pada ibunya, suami yang meninggalkan istri begitu saja, sanak saudara yang tak menganggap keberadaanya, serta para tetangga yang kehilangan kemanusianya.

Membayangkan saja rasanya aku tak sanggup, perempuan setua itu sendiri menghadapi beban hidup yang bertumpuk-tumpuk, ditambah lagi kehidupan yang ditiadakan mata-mata penuh keangkuhan.

Tongkat ditangan yang selalu membantunya mencari jalan adalah saksi bisu, bahwa ada hak manusia telah dinistakan oleh manusia lainnya.

-000- -000-

Dalam keprihatinanku yang masih berkecamuk, aku teringat kata pak Min, salah seorang tetangga bu Tarsih, bahwa apa yang dialami bu tarsih sa'at ini, adalah buah dari semua yang sudah dilakukannya di masa lalu, atau bisa dikatakan semacam karma.

Di masa mudanya, bu tarsih itu termasuk perempuan cantik rupawan, hampir semua lelaki yang pernah bertemu pasti jatuh hati padanya, ujar pak Min.

Namun dibalik kecantikannya itu ada sifat tidak baik dalam dirinya, seperti suka merendahkan orang lain.

Sa'at berkeluarga, ibu tarsih termasuk keluarga kaya raya dikampungnya, rumahnya bagus dan punya lahan persawahan yang luas, perhiasan emas juga tak sedikit berkilauan di leher dan tangannya.

Meskipun tergolong orang yang bergelimang harta, namun beliau bukan termasuk orang yang dermawan. Bahkan kata pak Min, ibu itu sangat pelit sekali, "kalaupun menggenggam air pastinya tidak akan menetes." tutur Pak Min memberikan permisalan,

Dalam kesehariannya, bu Tarsih sangat individual, tidak suka bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya, bahkan sikap dan kata-katanya sering menyakiti para tetangga, seakan ia menganggap semua orang tidak selevel dengan dirinya.

Sedangkan para kerabat dan saudara kandungnyapun banyak yang tidak suka dengan bu Tarsih, karena sifat yang semaunya sendiri, dan sulit diajak dialog maupun diarahkan oleh famili-familinya.

Kini sa'at semua berbalik, entah tepatnya karena apa, semua harta benda bu tarsih terjual, tak satupun harta kekayaan nya yang masih dimiliki, suami dan anaknya juga meninggalkannya.

Para tetangga dan sanak familinya seakan bertepuk tangan, atas kondisi yang dialami bu tarsih. Miskin, sakit, dan sebatang kara. tak ada lagi yang dapat disombongkan atas kekayaannya, dan tak ada lagi yang bisa dibanggakan atas kecantikannya.

Mungkin ini adalah cara Tuhan mengingatkan bu Tarsih, sekaligus pelajaran bagi semua, bahwa semua yang dimiliki sejatinya hanyalah titipan NYA.

Dan sewaktu-waktu bisa atau akan diambil oleh sang Maha memiliki, sehingga menyadari hal itu akan menjauhkan seseorang dari kesombongan atas nikmat.

Terlepas dari karma dan atau apalah namanya yang sedang menimpa bu tarsih, bukankah membalas keburukan dengan keburukan adalah sesuatu yang sama-sama buruk?!?.

Rasa kemanusiaan mestinya tetap memanusiakan manusia, meski sebesar apapun kesalahan yang dilakukan manusia, ia tetaplah manusia ciptaan Sang Maha Pencipta.

Note: Peristiwa dalam cerita ini diambil dari kisah nyata, nama dan lokasi disamarkan, dan Bu Tarsih tokoh dalam cerita juga sudah meninggal. Ditulis secara sederhana, agar dapat menjadi pelajaran bagi semua.

Penulis : Putut Dairobi (Pemerhati Sosial)