Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kopi Hitam, Obrolan Kehidupan dan Pencerahan 7

 

Kopi Hitam, Obrolan Kehidupan dan Pencerahan 7

uripkuiurup.com - Aku duduk di bawah pohon jambu darsono belakang rumah, memandang langit yang biru cerah. Tanpa terasa, langit mulai memerah, mengisyaratkan bahwa senja akan segera tiba.

Di sebelahku, secangkir Kopi hitam panas mengepulkan aroma khas kopi purnama, di sebelahnya lagi, tembakau ampek arum dan cengkeh rotari juga semerbak menguapkan aromanya yang gurih.

Sambil menyeruput kopi, aku teringat perbincangan tempo hari dengan Ki Jambon

"Ki, saya ingin berbicara tentang prioritas dalam hidup." Ucapku waktu itu membuka percakapan.

"Prioritas? Hmm, apa yang ingin kau bicarakan tentang itu, mas?" Jawab Ki Jambon

"Dalam melakukan segala sesuatu, apakah benar uang harus selalu jadi prioritas utama?" Tanyaku

Ki Jambon tersenyum sambil ia melanjutkan mengukir bakalan pintu. "Uang, hanya sebuah alat. Sebagaimana pahat yang aku pakai ukir kayu ini. Yang penting adalah bagaimana kita memilih untuk menggunakan alat itu."

Aku mengangguk, mencerna kata-katanya. "Tapi, banyak orang mengatakan bahwa kebahagiaan dan kesuksesan diukur dari seberapa banyak uang yang kita miliki."

Ki Jambon menghentikan kegiatannya sejenak, menatapku dengan bijak. "Kebahagiaan dan kesuksesan sejati tidak hanya diukur dari sejumlah uang di dalam dompet kita, mas. Mereka ada dalam rasa puas dan kedamaian batin kita, dalam hubungan yang kita bangun dengan orang-orang di sekitar kita, dan dalam kontribusi yang kita berikan kepada dunia."

Aku merenung sejenak. "Jadi, sebenarnya prioritas yang sejati adalah bagaimana kita menjalani hidup dengan memberikan yang terbaik dalam segala hal, bukan hanya untuk mendapatkan uang?"

Lagi lagi Ki Jambon tersenyum. "Betul sekali, mas. Jangan biarkan uang menghalangi kita dari memberikan yang terbaik dalam segala hal yang kita lakukan. Ketika kita memprioritaskan hal-hal yang benar, imbalan finansial akan mengikuti dengan sendirinya."

Aku juga tersenyum, merasa lega mendengar nasihat Ki Jambon. "Terima kasih, Ki. Saya akan mencoba memprioritaskan yang benar dalam hidup saya."

Ki Jambon mengangguk, kembali melanjutkan ukiran kayunya. "Semoga Tuhan senantiasa memberkati langkah-langkah kita."

Dalam kesunyian yang nyaman, aku merenungkan kata-kata Ki Jambon. Dia benar, kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli dengan sejumlah uang.

Keesokan paginya, aku bangun dengan semangat baru. Aku memulai hari dengan penuh energi, tanpa terlalu memikirkan uang sebagai tujuan utama.

Setiap langkahku kini diarahkan oleh nilai-nilai yang kuinginkan: integritas, dedikasi, dan kebahagiaan.

Hari demi hari berlalu, aku melihat perubahan dalam hidupku. Meskipun uang tetap menjadi bagian penting, aku tidak lagi terlalu terpaku padanya.

Aku menemukan kebahagiaan dalam memberikan yang terbaik dalam setiap tugas yang kujalani, dalam mendukung orang-orang terdekatku, dan dalam mengejar impian-impian yang sejati.

Saat aku melihat kembali perjalanan hidupku, aku merasa bersyukur telah mendengarkan nasihat Ki Jambon.

Dia telah membimbingku untuk memahami bahwa kebahagiaan dan kesuksesan sejati tidak bisa diukur dengan sejumlah uang, melainkan dengan bagaimana kita menjalani hidup dengan integritas dan penuh makna.

Bersambung...