Pelatihan, Hujan, dan Cerita di Antara Desa
Pelatihan, Hujan, dan Cerita di Antara Desa |
Pagi itu, motor tuaku menderu, membelah jalanan berliku Blitar. aku dan Bahrul Ulum, sahabat sekaligus pengelola media MataBlitar.com mengawali perjalanan kami menuju Desa Kemloko, Nglegok.
Udara masih dingin, sisa embun menempel di dedaunan. Langit yang kelabu memberi tanda, hujan akan setia menemani kami hari ini.
“Ini bukan cuma perjalanan,” kata Ulum sambil memutar gas motor. “Kita sekalian touring, refreshing di tengah hiruk-pikuk waktu.” Aku tertawa kecil, menikmati semangatnya.
Hari itu adalah Sabtu, 16 November 2024, awal dari agenda dua hari penuh pelatihan jurnalistik warga desa dan akuntabilitas sosial yang digelar oleh Lakpesdam NU Kabupaten Blitar melalui Program P3PD, dan telah menjadwalkan kami menjadi narasumber di empat desa berbeda: Desa Kemloko Nglegok, Kebonagung Wonodadi, Tuliskriyo Sanankulon, dan Balerejo Wlingi.
Jarak antar-desa tidak main-main. Dengan kondisi jalanan desa yang kadang licin dan berlubang, perjalanan ini bisa lebih mirip petualangan.
Benar saja, saat hampir sampai kantor desa kemloko, perjalanan kami terhenti, karena ada jembatan yang sedang diperbaiki, sehingga jalan ditutup total.
Beruntung kami bertemu khotib, yang merupakan carek desa setempat. Kontan ia mengajak kami menuju lokasi melalui jalan alternatif jalur terdekat katanya.
Saya dan ulum pun mengikutinya. Tapi kami tak pernah membayangkan jalan alternatif yang dimaksut carek khotib begitu syahdu, saya dan ulum membuntuti khotib masuk gang sempit, lalu masuk jalan setapak tengah pekarangan orang.
Lalu kami terus mengikuti khotib menyusuri jalan menurun masuk sungai, lalu naik tajam dengan jalan yang becek antara lumpor dan letong jadi satu karena tanjakan tersebut berada tepat di samping bawah kandang sapi milik warga.
Roda motor ku berputar putar selep, bunyi mesinnya juga ngos ngosan, beruntung saya tidak jatuh tergelincir. Menyusul dibelakangku ulum dengan motor touringnya, dan sama motornya juga ngos ngosan menaiki tanjakan yang licin.
Dengan spontan ulum berteriak, "jamput, carek gemblong" sambil tertawa campur marah, khotip pun menimpali "La jare njaluk dalan pintas sing cedek?" Tawa kami bertiga pun pecah.
Sesampainya di Desa Kemloko, kami melihat peserta mulai berdatangan, dan tidak lama kemudian kursi peserta telah penuh, ada sekitar 50 warga, yang sebagian besar adalah pengurus Sekolah Lapang Desa, telah berkumpul.
Materi pertama tentang dasar-dasar jurnalistik mengalir lancar. Di sana, kami tidak hanya berbagi ilmu, tapi juga belajar dari mereka. Diskusi hangat tentang bagaimana dokumentasi kegiatan desa dapat memperkuat transparansi pembangunan menjadi topik yang menarik.
“Pak, gimana caranya membedakan berita yang benar dan hoaks?” tanya seorang peserta dengan mata penuh rasa ingin tahu. Ulum menjawab panjang lebar, memberi contoh-contoh praktis.
Saat itulah aku menyadari, bahwa jurnalistik bukan lagi soal menulis untuk media besar, melainkan keterampilan yang bisa memperkuat masyarakat di tingkat lokal.
Hari pertama diakhiri di Desa Kebonagung. Sore itu, setelah sesi selesai, kami duduk bersama panitia di ruang kepala desa.
Kopi hitam panas menghangatkan tubuh kami. “Besok masih ada dua desa lagi lur, jarak antar desanya juga lumayan,” kata ulum setengah berbisik dan tersenyum.
Kami Pulang dari Kebonagung waktu sudah mulai petang, dan hujan masih belum juga reda, meski tidak lebat tapi cukup menggangu pandangan mata kami saat berkendara.
Keesokan harinya, perjalanan berlanjut ke Desa Tuliskriyo dan Balerejo. Kali ini, hujan tidak hanya menjadi tantangan, tapi juga pengiring harmoni, utama saat menuju Balerejo, sebuah desa diwilayah wlingi paling utara, sudah berbatasan dengan lereng gunung kawi.
Guyuran air yang menyelimuti jalanan desa membawa suasana syahdu. Dalam perjalanan itu, aku dan Ulum berbagi cerita tentang mimpi besar kami, membangun budaya jurnalistik di desa-desa Blitar.
Di setiap desa, kami bertemu dengan wajah-wajah penuh semangat. Peserta pelatihan aktif bertanya, mencoba memahami bagaimana cara mengelola media sosial yang bijak atau menulis laporan kegiatan desa yang menarik. Bahkan beberapa di antaranya langsung mempraktikkan cara mengambil foto yang baik untuk dokumentasi.
“Kalau ini terus dikembangkan, desa-desa di Blitar bisa jadi contoh transparansi pembangunan,” gumam Ulum saat kami berjalan meninggalkan lokasi terakhir.
Pelatihan ini bukan sekadar transfer ilmu. Tapi juga ruang untuk belajar bersama. Kami, sebagai narasumber, tidak hanya mengajarkan jurnalistik. Kami juga menerima energi dan inspirasi dari para peserta, dari cerita mereka tentang bagaimana desa mereka perlahan berubah, dari mimpi kecil yang tumbuh menjadi visi besar.
Saat perjalanan pulang, hujan kembali turun. Tapi kali ini, kami tidak terburu-buru mencari tempat berteduh, maupun memakai jas hujan. Kami justru melaju pelan, menikmati setiap tetes air yang membasahi wajah kami.
Dalam hati, aku bersyukur atas perjalanan ini. Dua hari penuh cerita, hujan, dan pelajaran berharga telah memberikan makna baru pada apa itu “jurnalistik warga.”