Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nilai Sebuah Kebersamaan: Kopi Hitam, Obrolan Kehidupan dan Pencerahan 9

 

Ilustrasi

uripkuiurup.com - Hujan sore ini mengguyur dengan deras, mengirim aroma khas tanah basah yang bercampur wangi tembakau Ampek Arum yang disulut Ki Jambon.

Aku duduk bersamanya di teras rumahnya yang sederhana, menyesap kopi hitam pekat yang hangat di tanganku. Suara rintik hujan menjadi latar belakang percakapan kami, seperti alunan musik alami yang syahdu.

“Bagaimana kabar komunitasmu, Mas?” tanya Ki Jambon sambil mengembuskan asap tipis dari lintingannya.

Aku menarik napas dalam, merasa perlu berbagi kegelisahanku. “Komunitas kami sebenarnya baik-baik saja, Ki. Tapi, belakangan ini ada sedikit kerikil dalam perjalanan. Gaplek, salah satu anggota komunitas, melanggar kesepakatan. Ia lebih memilih memikirkan untung ruginya sendiri daripada nilai kebersamaan yang sudah kita bangun.”

Ki Jambon diam sejenak, menatap jauh ke rintik hujan yang semakin lebat. “Gaplek itu anak muda yang pintar, kan? Tapi pintar saja tidak cukup, Mas. Kadang, pintar justru membuat seseorang lupa pada hal yang lebih mendasar.”

Aku mengangguk pelan, menanti kebijaksanaan yang akan keluar dari bibir Ki Jambon.

“Kebersamaan itu, Mas, seperti kopi ini,” katanya sambil mengangkat cangkir kopinya. “Rasanya nikmat kalau dibuat dengan takaran yang pas, dicampur dan diaduk bersama. Kalau masing-masing biji kopi hanya ingin terlihat unggul sendiri, apa yang terjadi?”

“Rasanya tak akan jadi kopi, Ki,” jawabku sambil tersenyum kecil.

“Benar,” Ki Jambon meneguk kopinya, lalu melanjutkan, “Kebersamaan dalam komunitas itu jauh lebih berharga dari hitungan materi. Sebab, dalam kebersamaan, kita menemukan makna yang tidak bisa dibeli dengan uang: persaudaraan, saling mendukung, dan rasa memiliki. Kalau setiap anggota hanya memikirkan untungnya sendiri, komunitas itu akan pecah, seperti kopi yang pahit karena terlalu banyak biji gosong.”

Aku terdiam. Kata-kata Ki Jambon seperti menembus benakku. Ia menyalakan kembali lintingannya, lalu berkata lagi, “Mas, hidup ini bukan soal siapa yang mendapat lebih banyak. Tapi siapa yang mampu berbagi dan memperkuat yang lain. Kalau kamu ingin komunitasmu tetap utuh, ingatkan Gaplek, bahwa kita ini hidup dalam lingkaran yang saling terhubung.”

Hujan semakin deras. Kopi hitamku telah tandas, tapi percakapan kami terasa semakin mendalam. Seolah memahami kebutuhanku, Ki Jambon bangkit dan menuju ke belakang. Ia kembali dengan secangkir kopi panas di tangannya, lalu menyerahkannya padaku.

“Terima kasih, Ki,” kataku, merasa terharu dengan perhatiannya.

“Begitu juga kebersamaan, Mas. Kalau ada yang kekurangan, bantu. Kalau ada yang lupa, ingatkan. Kebersamaan butuh pengorbanan ego, tapi percayalah, hasilnya akan jauh lebih manis daripada kemenangan pribadi.”

Aku memandangi cangkir kopi hitam yang kini mengepul di tanganku. Dari Ki Jambon, aku belajar banyak hal: menurunkan ego, menghormati perbedaan, dan menjaga kebersamaan yang menjadi fondasi dari setiap komunitas.

Ketika hujan akhirnya mulai reda, aku merasa sudah lebih siap untuk kembali. Bukan hanya ke komunitasku, tapi juga ke peranku sebagai bagian dari kebersamaan itu. “Ki, terima kasih atas semua pelajarannya. Saya tak akan melupakan sore ini.”

Ki Jambon hanya tersenyum. “Ingat, Mas, kebersamaan itu bukan soal seberapa banyak kita dapat, tapi seberapa besar kita saling menguatkan.”


Bersambung...