Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menjadi Manusia: Kopi Hitam, Obrolan Kehidupan dan Pencerahan 10

Foto Ilustrasi

uripkuiurup.com - Sore itu, langit bergelayut kelabu di atas Pendopo Islam Nusantara. Di bawah naungan atap joglo, para santri kalong duduk bersila dengan khusyuk, menyimak petuah Ki Jambon dalam obrolan santai yang disebutnya ngaji urip.

Aku menyelinap di antara mereka, ikut menyerap wejangan dari lelaki paruh baya dengan rambut mulai memutih itu, yang terlihat lebih seperti seorang petani sederhana daripada Kiai terpandang.

"Jika kehidupan ini adalah sebuah pentas," ujar Ki Jambon sambil mengepulkan asap rokok kreteknya, "maka kita semua memiliki peran menjadi manusia."

Kalimat itu meluncur tenang, tetapi memiliki daya pukau yang membuat kami semua terdiam. Asap rokoknya membentuk lingkaran-lingkaran kecil, seolah mempertegas misteri di balik ucapannya.

"Peran manusia seperti apa, itu pilihan masing-masing," lanjutnya, kali ini dengan tekanan suara yang dalam, seolah menegaskan bahwa setiap kata yang terucap bukan sekadar hiasan.

Aku termenung. Ada sesuatu yang berat di balik kalimat itu. Sebuah tanggung jawab besar yang selama ini mungkin tak kusadari.

Tak tahan dengan keheningan yang menggantung, aku spontan menyela, "Bukankah dalam pentas, pemeran tak bisa lepas dari naskah sutradara, Ki?"

Ki Jambon tersenyum tipis, matanya menyipit seperti sedang menakar ketidaktahuanku. "Tak semuanya begitu, Mas. Peran menjadi manusia itu unik. Kita diberi akal untuk memilih. Sutradara boleh menulis naskah, tapi kita yang menentukan apakah akan memerankan tokoh dengan benar atau sekadar menjadi figuran."

Jawabannya membuat pikiranku semakin berkecamuk. Aku ingin menyela lagi, tetapi suara Darto, santri yang duduk di sebelahku, mendahului.

"Aku kok bingung, Ki. Pripun maksudé?" tanyanya dengan nada lugu.

Ki Jambon menatap Darto lama, lalu tersenyum penuh kebapakan. "Begini, Le. Hidup itu soal memilih. Kau bisa memilih menjadi manusia yang baik, manusia yang jahat, atau bahkan manusia yang hanya diam tanpa makna. Semua tergantung pada hatimu."

Hujan rintik mulai turun, membasahi halaman pendopo yang ditata paving dengan rapi. Aroma tanah yang khas bercampur dengan bau rokok kretek Ki Jambon, menciptakan suasana yang syahdu. Kopi hitam dan beberapa jenis gorengan di depan kami menjadi saksi bisu obrolan sore itu.

"Jadi, Ki," aku mencoba mengerti, "apakah memilih itu mudah?"

Ki Jambon tertawa kecil, seperti mendengar pertanyaan dari anak kecil yang baru belajar bicara. "Tidak, Mas. Memilih itu berat. Karena setiap pilihan punya konsekuensi. Tapi justru di sanalah letak seni menjadi manusia. Kita harus berani memilih meskipun hasilnya tak selalu sesuai harapan."

Tak terasa langit di Pendopo sudah berubah Malam, tapi obrolan sahut menyahut masih begitu hangat, kulirik pisang goreng kesukaanku sudah habis tak tersisa, tinggal kuaci, tahu brontak, dan tempe genjos. Ki Jambon Juga berpamitan karena sudah di telfon anak perempuannya, yang menunggu dongeng pengantar tidur darinya.

Kami juga memutuskan membuyarkan diri, pulang dengan pikiran yang penuh. Pesan Ki Jambon terus terngiang di kepalaku: hidup adalah panggung, dan menjadi manusia adalah peran utama yang harus kita jalani dengan akal dan hati.

Hari demi hari, aku mulai memahami apa yang dimaksud Ki Jambon. Bahwa hidup bukan sekadar tentang menjalani apa yang sudah ditentukan, tetapi juga tentang bagaimana kita menulis ulang naskah yang diberikan Tuhan dengan keberanian, kebijaksanaan, dan cinta.

Menjadi manusia adalah tugas yang paling mulia sekaligus paling sulit. Tetapi selama kita terus belajar dan berusaha memilih yang terbaik, kita telah memainkan peran kita dengan sebaik-baiknya.

Maka, apa yang lebih penting dari itu?