Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

'Terpental' Kharisma Gus Dur

Haul Gus Dur Ke-15 di Pendopo Islam Nusantara

uripkuiurup.com - Malam ini, saya menghadiri Haul Gus Dur ke-15 yang digelar di Pendopo Islam Nusantara (Pinus) Sekardangan. Acara ini diinisiasi oleh GusDurian Blitar bersama LakpesdamNU Kabupaten Blitar dan PC IKA PMII Blitar Raya.

Tema yang diangkat sangat menggugah: “Menajamkan Nurani Membela yang Lemah”. Tema ini seolah menghidupkan kembali semangat Gus Dur, seorang pemimpin besar yang selalu membela kaum yang terpinggirkan.

Sebagai seseorang yang tumbuh di tengah masyarakat Nahdliyin, Gus Dur adalah nama yang tidak pernah asing bagi saya. Sejak kecil, cerita-cerita tentang beliau, seorang kiai kharismatik yang sederhana, cucu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama sering mengisi obrolan keluarga dan masyarakat sekitar.

Ketika menjadi mahasiswa, nama Gus Dur menjadi semakin dekat. Pemikirannya tentang demokrasi, Islam moderat, dan pluralisme kerap menjadi bahan diskusi di organisasi mahasiswa. Tidak berlebihan jika Gus Dur dijuluki Guru Bangsa, sosok yang mengajarkan keberagaman dengan hati dan tindakan.

Namun, momen paling berkesan dalam hidup saya terjadi pada tahun 2009 nan. Saat itu, saya bersama Mas Hadi mewakili LakpesdamNU Kabupaten Blitar mengikuti sebuah simposium di Yogyakarta.

Acara itu diselenggarakan oleh Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat) Indonesia, yang digagas oleh Mas Imam Aziz. Salah satu program mereka adalah rekonsiliasi akar rumput di Blitar, di mana Lakpesdam menjadi mitra utamanya.

Hari itu, Gus Dur menjadi salah satu narasumber. Duduk di kursi rodanya, beliau menyampaikan materi dengan gaya khas: santai namun penuh makna. Semua peserta terpukau.

Kami larut dalam setiap kata-kata beliau yang tajam, namun mengalir ringan, membahas tentang keadilan, keberpihakan kepada rakyat kecil, dan nilai-nilai yang membentuk dasar kemanusiaan. Rasanya, berada satu forum dengan Gus Dur adalah anugerah luar biasa.

Sesi itu berakhir, dan Gus Dur perlahan meninggalkan ruangan. Di atas kursi rodanya, beliau melintasi kerumunan peserta yang berjejer rapi di sepanjang jalan menuju pintu keluar. Saya pun berdiri di sana, mengantri, menanti giliran untuk bersalaman.

Dalam hati, saya tak henti-hentinya bersyukur. “Sebentar lagi, aku bisa sungkem langsung kepada Gus Dur,” pikir saya dengan hati berdebar - debar.

Namun, saat momen itu tiba, tubuh saya justru terasa beku. Ketika Gus Dur hanya berjarak setengah meter, kharisma beliau seperti menyihir saya. Tubuh saya kaku, bibir saya terkunci, dan saya hanya mampu mematung memandangi beliau yang berlalu di depan mata.

Saat akhirnya tersadar, Gus Dur sudah jauh di ujung pintu keluar. Perasaan menyesal langsung menyeruak. “Kenapa aku diam saja tadi? Kenapa aku tidak bergerak?” Kesempatan langka untuk sungkem dengan beliau telah hilang.

Malam itu, saya termenung. Meski tidak sempat berjabat tangan, perasaan saya berkata bahwa di alam bawah sadar, kami telah bertemu. Kharisma Gus Dur telah menghampiri saya dengan cara yang tidak biasa, membuat saya terpental diam mematung.

Kini, setiap mengingat kejadian itu, saya hanya bisa tersenyum, meski dengan sedikit getir. Gus Dur, sosok yang tidak hanya besar karena pikirannya, tetapi juga karena kehadirannya yang penuh kharisma.